Konflik antara pemerintah India dengan LSM internasional, termasuk Greenpeace India dan Amnesty International, tampaknya belum berakhir. Para LSM itu menuduh pemerintah Perdana Menteri (PM) India, Narendra Modi, mengikis kebebasan untuk berselisih dengan memenjarakan para kritikus. Situasi yang mengakibatkan mereka harus memangkas 68 pekerjaan –30 persen dari tenaga kerja di dalam negeri– dan membatalkan program.
Sebelumnya pemerintah mengeluarkan pernyataan menuduh kelompok itu menerima 260 juta rupee (US$ 3,5 juta) secara ilegal dari rekening luar negeri melalui sebuah perusahaan cangkang. Tuduhan yang dibantah oleh Greenpeace dan Amnesty International.
Menurut mereka, tuduhan itu sangat tidak berdasar. Bagaimana mungkin pemerintah India melontarkan tuduhan itu setelah organisasi bantuan internasional itu beroperasi di India selama beberapa dekade, bekerja sama dengan pemerintah dengan memberi masukan mengenai penyelesaian berbagai masalah, mulai dari air bersih, pendidikan anak-anak, hingga pembuangan limbah elektronik?
Para kritikus mengatakan, pemerintah berusaha untuk menutupi kegagalan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan menindak kelompok-kelompok yang mengekspos mereka. Sebaliknya, pejabat pajak India menuduh pihak LSM itu secara ilegal menerima dana melalui perusahaan cangkang yang didirikan untuk menghindari pihak berwenang setelah Menteri Dalam Negeri India membatalkan lisensi kelompok itu.
Meenakshi Ganguly, Direktur Human Rights Watch di Asia Selatan, menyalahkan pemerintah sebelumnya yang dikuasai Partai Kongres karena mengamandemen Undang-Undang Peraturan Kontribusi Asing pada 2008 untuk meminta organisasi mengajukan kembali pendaftaran setiap lima tahun. Ganguly mengatakan, kebijakan itu punya pesan yang jelas bahwa pemerintah ingin menutupi pelanggaran HAM dengan menindak para kritikus.
Tahun lalu, India menolak untuk mengizinkan penyelidik dari kantor Komisi Tinggi HAM yang berpusat di Jenewa mengunjungi negara bagian Kashmir yang dikuasai India dan menyelidiki laporan pelanggaran HAM di wilayah yang disengketakan.
Mereka membandingkan perlakuan India dengan negara tetangganya, Pakistan. PM Imran Khan telah memerintahkan lebih dari selusin organisasi bantuan internasional untuk memulai kegiatan “kemanusiaan” di Pakistan.
Yang menarik perhatian publik adalah, pemerintah India begitu tegas menindak organisasi-organisasi nonpemerintah itu dengan menggerebek kantor-kantor mereka, membekukan rekening bank, dan membatasi perjalanannya.
Kenapa pemerintah India bertindak represif? Apakah khawatir dengan kampanye yang dilancarkan berulang-ulang agar pemerintah mengatasi kualitas udara berbahaya di kota-kota di India? Begitu kira-kira pertanyaan skeptis para pendukung LSM itu.
Anomali kerja LSM
Bagi pemerintah dan masyarakat India, keanehan dan ketidakjelasan kerja justru ditunjukkan oleh para LSM itu. Sebagaimana diketahui, udara bersih yang dikampanyekan LSM-LSM itu punya tujuan agar penggunaan batubara di India semakin berkurang, terutama bagi pemanas, industri, maupun pembangkit listrik.
Namun, fakta menarik menunjukkan bahwa India adalah salah satu negara dengan instalasi energi terbarukan terbesar di dunia. Bayangkan, negeri PM Modi telah masuk dalam kluster global negara dengan penggunaan energi bersih terbesar.
Data terbaru menunjukkan, kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) negara ini melewati porsi 10% pada kuartal terakhir 2018. Energi angin tetap menjadi teknologi dominan di India dengan kapasitas hampir 76 GW energi terbarukan (per 31 Desember 2018). Total kapasitas terpasang pembangkit listrik India mencapai 351 GW pada akhir tahun lalu.
Yang menarik adalah, di sektor listrik tersebut, India belum memasukkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) besar ke dalam sektor energi terbarukan. Tanpa mengikutsertakan PLTA besar itu saja, bauran energi terbarukan India telah mencapai 20% dari total kapasitas daya terpasang (71,325 GW) pada 30 Juni 2018.
Dengan kontribusi PLTA sebesar 13% dari total kapasitas daya, total bauran energi terbarukan India hingga akhir 2018 mencapai lebih dari 33%. Bandingkan dengan negara maju seperti Australia, yang baru mencanangkan pencapaian bauran energi terbarukan sebesar 33% pada 2030.
Melihat kapasitas tenaga listrik berbasis angin yang dimiliki India, siapa pun akan melihat betapa tinggi perhatian pemerintahan PM Modi atas pengembangan energi terbarukan. Kapasitas PLTB India mencapai 34.046 MW per 31 Maret 2018, menjadikan India produsen tenaga angin terbesar keempat di dunia.
Negara ini memiliki basis manufaktur yang kuat dalam tenaga angin dengan memproduksi 53 model turbin angin yang berbeda dengan kualitas internasional hingga berukuran 3 MW. Bahkan hasil manufakturnya telah diekspor ke Eropa, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara lain.
Yang juga menarik dari pengembangan energi terbarukan India adalah, target pemerintah memasang 20 GW tenaga surya pada 2022 telah bisa dicapai empat tahun lebih cepat dari jadwal pada Januari 2018, baik melalui program taman surya maupun panel surya di atap. Untuk ini, India telah menetapkan target baru untuk mencapai 100 GW tenaga surya pada 2022. Empat dari tujuh taman tenaga surya terbesar di dunia berada di India, termasuk taman tenaga surya terbesar kedua di dunia di Kurnool, Andhra Pradesh, dengan kapasitas 1.000 MW.
Sekarang India tengah membangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia, Bhadla Solar Park di Rajasthan dengan kapasitas 2.255 MW dan diharapkan selesai pada akhir 2018. Selain itu, India berencana memiliki kapasitas energi angin terpasang sebesar 70 GW pada Maret 2022, dan 140 GW pada Maret 2030.
Dengan fakta “mengerikan” di atas, sudah barang tentu publik mempertanyakan maksud LSM-LSM itu terus melakukan tekanan terhadap pemerintahan PM Modi. Apa maksud mereka sebenarnya?
Source: The Press Week