Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menolak rencana penerapan cukai kantong plastik pada 2019. Selain memberikan biaya tambahan kepada industri, kebijakan ini tidak bermanfaat.
Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kemenperin Taufik Bawazier mengatakan, kebijakan tersebut harus dipertimbangkan kembali. Sebab, prinsipnya, sebuah kebijakan harus menjadi stimulus untuk industri, bukan menyulitkan industri.
“Cukai plastik memberatkan masyarakat luas yang sebagian menopang hidupnya dari kantong atau produk plastik lainnya. Bayangkan para penjual kecil, seperti lontong sayur atau pecel dibebani dengan cukai plastik. Itu juga harus dipikirkan. Jangan sampai jadi beban,” kata Taufik di Tangerang Selatan, Banten, Senin (10/12).
Dia mengatakan, kementrian atau lembaga yang terkait dengan industri plastik harus menyamakan pandangan agar dapat seirama dalam membuat keputusan. Ini akan memberikan nilai tambah dan dampak positif terhadap ekonomi dan non-ekonomi.
Selain itu, kata Taufik, bila dibandingkan dengan tembakau atau alkohol, plastik tidak termasuk kategori yang perlu dikenakan cukai. Dia meragukan cukai plastik akan mampu mengurangi sampah plastik.
Untuk mengurangi sampah plastik, terang Taufik, masyarakat perlu mendapat edukasi yang kuat untuk memilah-milah sampah plastik di rumah tangga sebelum dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan tidak membuang sampah plastik sembarangan. Artinya, peran masyarakat sangat penting dalam mengurangi sampah plastik.
“Dalam pengelolaan sampah, industri daur ulang dan pemulung yang biasa memungut sampah plastik juga perlu dibina untuk bisa memilah-milah sampah plastik. Jangan sampai industri disalahkan,” kata Taufik.
Ke depan, dia menuturkan, pemerintah akan mendorong pendidikan kepada pihak-pihak yang terkait sampah plastik. Dia memastikan,Indonesia bukan penghasil sampah plastik terbesar. “Jadi, kita harus melihat plastik bukan sampah, tapi bahan baku. Itu poin besarnya sesungguhnya. Jadi, mindset kita harus melihat plastik sebagai bahan baku. Ini perlu edukasi ke semua lapisan masyarakat,” kata dia.
Taufik menerangkan plastik-plastik yang diklaim sebagai penyebab kontribusi sampah di laut bisa diambil dan dinilai tambahkan di industri daur ulang, sehingga bisa menciptakan daya saing industri yang kebih kuat.
Dia mengatakan, bahan baku plastik (scrap) menyumbang devisa mencapai US$ 40 juta pada 2017. “Jadi kalau dikatakan kita impor scrap US$ 50 juta, kita bisa ekspor US$ 90 juta. Saya kira teknologi yang perlu dikembangkan adalah pengolahan hasil sampah yang ada di lingkungan perlu ditingkatkan,” kata dia.
Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Christine Halim mengatakan, penyebab utama sampah plastik di Indonesia adalah warga yang membuang sampah sembarangan, bukan plastiknya. Berdasarkan hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 85% sampah di TPA adalah sampah organik, sedangkan sampah plastik hanya 12%.
Christine mengatakan, belum adanya sistem tata kelola daur ulang plastik menjadi salah penyebab permasalahan sampah plastik di Indonesia. Ia mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan, baik swasta maupun pemerintah untuk terus giat mengedukasi masyarakat terkait dampak positif dari sampah plastik.
Source: beritasatu