Tidak hanya bernilai ekonomis, rumput laut juga ternyata memiliki manfaat ekologis, yakni sebagai penyerap karbon.
Salah satu contoh dari segi ekonomisnya, rumput laut merupakan salah satu komoditas yang menggiurkan untuk Provinsi Banten. Hal ini terbukti dari produksinya di Kabupaten Serang mencapai 17 ribu ton sampai dengan triwulan ketiga 2018.
Kepala Seksi budi daya Laut Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Serang, Yosi Ekamarsa, mengatakan bahwa harga rumput laut kualitas bagus dengan jenis rumput laut kering tawar di pasaran bisa mencapai Rp12.000/kg, sedangkan jenis rumput laut kering asin hanya Rp8.000/kg dan basah Rp4.000/kg.
Budi daya rumput laut berjenis cottonii tersebut bisa menghasilkan kualitas yang bagus apabila dipanen sesuai dengan usia perkembangannya yakni selama 40-45 hari. Lalu, ia menambahkan, para petani umumnya lebih sering memanen rumput laut pada usia 30 hari sehingga secara kualitas hasilnya kurang bagus.
“Mungkin karena desakan kebutuhan, para petani itu memanen pada usia 30 hari, jadi hasilnya kurang bagus atau kadar agarnya rendah, dan harganya pun lebih murah,” kata Yosi.
Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis, menjelaskan bahwa komoditas rumput laut masih berorientasi ekspor.
ARLI mencatat nilai ekspornya saat ini kurang lebih 200 juta USD (Rp2,9 triliun).
Menurut dia, Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang menjadi tempat yang sangat potensial untuk mengembangkan rumput laut.
Data ARLI menunjukkan, budi daya rumput laut dapat dilakukan sepanjang tahun di beberapa lokasi, seperti bagian timur laut Sulawesi, kepulauan Sunda Kecil dan Madura, Laut Banda, Halmahera, serta Papua.
Budidaya dapat dilakukan secara musiman di lokasi lain dengan siklus panen lima hingga enam kali. Daerah tersebut adalah Laut Jawa, Laut Sulu, Laut Sulawesi, dan Selat Makassar.
Selain di Indonesia, budi daya rumput laut juga menjadi industri besar di Tiongkok, Jepang, dan Korea.
Rumput laut memiliki banyak kegunaan, yakni untuk bahan makanan, bahan bakar nabati, obat-obatan, polisakarida, stok pakan untuk hewan darat dan laut.
Selain itu, secara ekologis rumput laut juga membantu pengendalian dampak perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini karena bisa menyimpan karbon dua kali lebih banyak dibanding kemampuan wilayah daratan.
Selama ini, rumput laut kerap diabaikan sebagai penyerap karbon.
Tumbuhan ganggang ini tumbuh di permukaan berbatu dan daunnya tidak dapat terkubur di tanah atau sedimen. Beberapa spesies bahkan memiliki kantung udara yang membuat mereka cenderung tidak tenggelam.
Sel rumput laut lunak dan mudah dicerna sehingga mereka lebih mungkin dimakan oleh hewan atau dipecah oleh bakteri. Pencernaan atau pembusukan melepaskan kembali karbon yang disimpan rumput laut ke udara atau air, di mana ia bereaksi dengan oksigen menjadi CO2.
Melansir riset tahun 2012 oleh National Science Foundation, rumput laut dunia diketahui memiliki potensi sangat besar untuk menyimpan karbon.
Para peneliti lembaga tersebut, menghitung jumlah karbon yang bisa disimpan pada rumput laut, yaitu mencapai 19,9 miliar metrik ton. Selain itu, juga mampu menyerap karbon hingga 83.000 metrik ton per km persegi di dalam tanah di antara tanaman tersebut.
Kemampuan yang demikian dua kali lebih banyak dibandingkan hutan di daratan yang menyerap 30.000 metrik ton per km persegi dalam bentuk kayu.
Wendy Nelson, seorang ilmuwan utama di Niwa dan peneliti Universitas Auckland, menulis sebuah makalah yang mengeksplorasi potensi pertanian rumput laut komersial dalam mengurangi tingkat karbon dioksida global. Gas rumah kaca yang bertanggung jawab atas perubahan iklim ulah manusia.
Nelson merupakan salah satu anggota sekelompok ahli yang bekerja di kawasan Asia-Pasifik. Mereka mendedikasikan dengan meningkatkan minat pada konsep yang dikenal sebagai “karbon biru”.
Karbon biru adalah karbon yang tersimpan di ekosistem pesisir seperti hutan bakau dan rumput laut.
Mereka mengambil CO2 dari atmosfer melalui fotosintesis pada saat yang sama dengan melepaskan oksigen.
Hal yang mengkhawatirkan mengenai rumput laut adalah seperempat dan setengah habitat tanaman pesisir telah hilang selama 50 tahun terakhir. Kemudian, peningkatan suhu pun telah mengubah garis hutan rumput laut.
Source: beritagar