Saat ini sampah masih menjadi prioritas penanganan di setiap daerah. Saat pemberian penghargaan Adipura pun, pengelolaan sampah termasuk salah satu kriteria penilaian yang utama. Menurut Guru Besar Pengelolaan Udara dan Limbah Institut Teknologi Bandung (ITB), Enri Damanhuri, sebagaimana dikutip dari liputan6.com, setiap tahun sekitar 44% sampah plastik atau sekitar 2,13 juta ton sampah telah mencemari lingkungan.
Dari total sampah plastik nasional tersebut, baru 36% yang dapat diambil dan dikumpulkan Dinas Kebersihan dan Dinas Lingkungan Hidup untuk dibuang ke TPA. Sampah, terutama jenis plastik, memang harus mengikuti siklus hidupnya. Ketika jumlah terpakai tidak sama dengan jumlah yang terbuang ke TPA, berarti ada sebagian yang terbuang, atau dengan kata lain keluar dari siklus hidupnya.
Tingginya volume sampah di setiap daerah yang tidak tertangani dapat memicu timbulnya dampak negatif, baik terhadap manusia maupun hewan dan tumbuhan. Karena itu, tidak salah jika pemerintah terus mendorong pengelolaan sampah. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan bahwa masyarakat/pelaku usaha memiliki peran serta dalam kegiatan pengelolaan sampah, di antaranya dalam hal pengurangan sampah. Pengurangan sampah tersebut meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah.
Teknologi Pemrosesan Sampah
Selama ini, TPA di setiap daerah umumnya masih menerapkan sistem open dumping yang dilakukan secara terbuka. Sistem ini berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Sistem pengumpulan sampah yang tidak melalui pemilahan dapat mengakibatkan bau tak sedap dan merusak estetika. Selain itu, lindi yang dihasilkan dapat mencemari air tanah hingga aliran permukaan yang terbawa oleh limpasan hujan.
Bayangkan saja jika sistem open dumping ini terus diterapkan di Indonesia, berapa banyak masalah yang justru akan timbul, padahal niat sesungguhnya adalah mengelola sampah. Sistem ini membutuhkan luas lahan karena, dalam sistem open dumping, diperlukan lahan lain sebagai tempat pembuangan baru ketika sampah itu ditutup. Sejalan dengan peningkatan jumlah timbulan sampah setiap tahunnya, sistem ini jelas pada suatu waktu akan mencapai batas saat lahan semakin sempitnya. Sampah yang ada pun pada akhirnya tak akan bisa lagi ditampung.
Baru-baru ini, DKI Jakarta ditetapkan sebagai pusat percontohan untuk menerapkan teknologi pemrosesan sampah di TPA yang disebut landfill mining. Teknologi ini sebenarnya telah ada sejak dua dekade lalu. Namun, Indonesia baru menerapkannya di Jakarta dan itu pun masih dalam tahap percontohan. Menurut Wahyono (2012), pada dekade ini, selain ditujukan untuk rehabilitasi lahan, landfill mining juga ditujukan untuk ekstraksi gas metana, guna ulang lahan landfill, dan penataan ulang material.
Penerapan landfill mining ini merupakan upaya untuk mengurangi sampah yang tertimbun, meningkatkan kapasitas penimbunan sampah, serta merehabilitasi landfill agar dapat dimanfaatkan kembali. Bahkan, dengan sistem ini, sampah dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti batu bara dalam proses pembuatan semen.

Pertimbangan Keberlanjutan
Dalam pengelolaan sampah, partisipasi masyarakat sangatlah dibutuhkan, apalagi jika mengingat persentase timbulan sampah tertinggi berasal dari rumah tangga sebesar 59,17%. Itu pun hanya di Jakarta pada periode 2017–2018. Jumlah tersebut juga diikuti oleh timbulan sampah kantor, pusat perniagaan, fasilitas publik, dan pasar tradisional masing-masing sebesar 10,76%, 8,57%, 6,91% dan 6,83%.
Berdasarkan data pengelolaan sampah nasional KLHK 2018, jumlah sampah yang ditimbun TPA periode 2017–2018 Provinsi DKI Jakarta sebesar 11.686.58 ton per hari dengan jumlah sampah tidak terkelola sebesar 274 ton per hari. Permasalahan sampah berpotensi akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Selain itu, pola kebiasaan masyarakat perlu menjadi perhatian karena hal inilah yang menentukan jalur siklus hidup sampah.
Saat ini, apabila dikaitkan dengan pola konsumsi, memang setiap individu tidak akan pernah lepas dari sampah. Meskipun didukung dengan kelengkapan sarana, masyarakat sendiri belum tentu dapat mewujudkan kebersihan lingkungan. Jadi, bayangkan saja apa jadinya jika tidak didukung dengan sarana yang memadai.
Namun, kadang ada juga wilayah yang bersih dengan sarana yang seadanya. Perilaku berperan penting dalam menentukan tingkat kebersihan suatu wilayah. Selain itu, faktor situasi lingkungan juga dapat mempengaruhi perilaku tersebut.
Oleh karena itu, permasalahan pola kebiasaan ini memang tidak mudah dan memerlukan waktu. Teknologi landfill hanyalah akhir dari sistem pengelolaan sampah. Ketika produksi sampah terus bertambah setiap tahunnya, pemerintah tidak mungkin hanya bertumpu kepada teknologi tersebut. Setidaknya, tetap saja adanya batasan luas lahan yang menentukan kapasitas tampung dari sampah tersebut.
Kemudian, peningkatan teknologi juga tidak dapat mengubah pola kebiasaan masyarakat sehingga, dalam hal ini, peran aktif masyarakat diperlukan untuk mengendalikan volume sampah. Bahkan, tidak hanya diperlukan dalam hal penanganan dan pengurangan sampah, masyarakat juga perlu mengawasinya.
Source: Valid News