Konstitusi mengamanatkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan salah satunya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Beleid yang diterbitkan 3 Oktober 2009 itu menegaskan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Penjelasan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 menegaskan ketentuan ini ditujukan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini maksudnya untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.
Sayangnya, ketentuan pasal 66 itu tidak berjalan efektif karena praktiknya masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup sangat mudah dikriminalisasi. Begitu penjelasan Manajer Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu A Perdana dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (12/12). “Walhi mencatat sampai 2018 ada 163 pejuang lingkungan dikriminalisasi,” katanya.
Minimnya peraturan yang melindungi aktivis lingkungan menurut Wahyu menjadi salah satu penyebab maraknya kriminalisasi. Ironisnya, target kriminalisasi itu semakin meluas tidak hanya menyasar aktivis tapi juga ahli yang memberi keterangan di pengadilan dan kepala daerah yang menutup perusahaan karena tidak mengantongi izin lingkungan.
Sebagai upaya untuk mengatasi masalah itu Wahyu mengusulkan kepada pemerintah untuk menerbitkan regulasi yang mengatur tentang Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Peraturan itu penting untuk melindungi aktivis lingkungan hidup dari ancaman kriminalisasi. Wahyu mencatat ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang anti SLAPP antara lain Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) No. 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
Wahyu menjelaskan KMA No. 36 Tahun 2013 mendefenisikan Anti-SLAPP sebagai perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Gugatan SLAPP dapat berupa gugatan balik (gugatan rekonvensi), gugatan biasa atau berupa pelaporan telah melakukan tindak pidana bagi pejuang lingkungan hidup (misalnya, dianggap telah melakukan perbuatan “penghinaan” sebagaimana diatur dalam KUHP).
Lebih lanjut KMA yang ditetapkan 22 Februari 2013 itu menjelaskan untuk memutuskan sebagaimana Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 bahwa gugatan penggugat dan/atau pelaporan tindak pidana dari pemohon adalah SLAPP yang dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi maupun dalam gugatan rekonvensi (dalam perkara perdata) dan/atau pembelaan (dalam perkara pidana) dan harus diputuskan lebih dulu dalam putusan sela. Tapi dalam praktiknya Wahyu melihat ketentuan ini sulit diterapkan karena hakim yang mengantongi sertifikasi lingkungan jumlahnya minim. MA menetapkan bahwa perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim bersertifikat lingkungan hidup pada peradilan tingkat pertama, banding dan MA.
Bagi Wahyu pemerintah bisa menerbitkan peraturan yang intinya memuat ketentuan anti SLAPP. Regulasi itu layaknya berbentuk Peraturan Presiden (PP) atau Peraturan Pemerintah (PP). Untuk saat ini bisa saja ketentuan itu dimasukan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang mengatur teknis pelaksanaan Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009.
Wahyu mengatakan beberapa kali Walhi sempat diundang pihak pemerintah untuk membahas rancangan Permen LHK itu. Pembahasannya juga melibatkan kementerian dan lembaga terkait. Walau pembahasan itu sudah selesai, tapi sampai saat ini Permen LHK yang ditujukan untuk melindungi pejuang lingkungan hidup itu tak kunjung terbit.
Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, Melki Wemly Paendong, mengatakan aktivis lingkungan hidup yang mengalami kriminalisasi antara lain dialami buruh tani desa Mekarsari, kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu yakni Sawin dan Sukma. Mereka dituduh melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 24 juncto Pasal 66 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.
Ada pihak yang melaporkan kedua buruh tani itu memasang bendera terbalik. Melki yakin kasus tersebut direkayasa karena pemasangan bendera yang dilakukan Sawin dan Sukma tidak seperti yang dituduhkan itu. Aparat kepolisian telah menindaklanjuti pengaduan pihak pelapor dan menetapkan Sawin dan Sukma sebagai tersangka. “Kasus ini diduga kuat terkait penolakan Sawin dan Sukma terhadap pembangunan PLTU Batubara Indramayu 2,” ujarnya.
Nasib serupa juga dialami Heri Budiawan alias Budi Pego, warga dusun Pancer desa Sumberagung kecamatan Pesanggaran kabupaten Banyuwangi. Budi dituduh menyebarkan ajaran komunisme dan perkaranya telah diproses di pengadilan. Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi menyatakan Budi bersalah dan menjatuhkan pidana penjara 10 bulan. Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur memperkuat putusan itu dan di tingkat kasasi majelis MA menambah hukuman pidana menjadi 4 tahun.
Budi yakin dirinya tidak pernah melakukan tindakan seperti yang dituduhkan itu. Menurut Budi upaya kriminalisasi terhadap dirinya ini terkait dengan penolakan yang dilakukannya bersama warga terhadap keberadaan tambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Budi mengatakan warga desa Sumberagung sudah merasakan dampak buruk keberadaan tambang emas itu misalnya terjadi banjir yang membawa material lumpur dari gunung Tumpang Pitu sehingga menutupi ladang warga. “Kami berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi ini,” tukasnya.
Source: hukumonline