Serangan terhadap perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) kembali terjadi. Anak perusahaan Grup Sinar Mas dengan cakupan dunia ini dituduh oleh Koalisi Antimafia Hutan punya sedikitnya 20 perusahaan cangkang di berbagai negara surga pajak, dengan kepemilikan saham pemasok kayu yang dimiliki oleh APP.
Tuduhan itu termuat dalam laporan terbaru Koalisi Antimafia Hutan berjudul “Tapi, Buka Dulu Topengmu: Analisis Struktur Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pemasok Kayu APP di Indonesia” yang dirilis 30 Mei lalu. Seorang peneliti dari koalisi Syahrul Fitra mengatakan, perusahaan cangkang di surga pajak itu terbentang dari Singapura, Hong Kong, British Virgin Islands, Mauritius, Malaysia, hingga Belanda, dengan kepemilikan saham minoritas.
Laporan itu juga mengklaim bahwa lima anggota keluarga Eka Tjipta Widjaja menjadi bagian dari 20 perusahaan cangkang serta merupakan pemilik manfaat (beneficial ownership) dari pemasok yang dimiliki APP beserta beberapa pabrik pulp dan kertas. Kepada publik, APP mengakui bahwa hanya punya enam perusahaan pemasok serat kayu dan total memiliki sembilan izin konsesi hutan tanaman industri (HTI). Pasokan kayu lainnya berasal dari perusahaan yang disebut sebagai pemasok independen.
Menanggapi kabar tersebut, Managing Director APP Sinar Mas, Goh Lin Piao, menuturkan bahwa pihaknya akan memberikan tanggapan resmi terhadap paparan Koalisi Antimafia Hutan segera setelah manajemen mempelajari kebenaran dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan. Di sisi lain, publik Indonesia mengetahui bahwa inti utama dari peraturan beneficial ownership adalah mengejar transparansi dari semua jenis korporasi. Aturan ini menjadi penting karena berkaitan dengan usaha untuk memberantas korupsi, menerapkan transparansi, sekaligus meningkatkan pendapatan di sektor pajak juga.
Melalui aturan ini pemerintah dapat segera mencegah upaya pebisnis “melarikan diri” dari beban pajak melalui aktivitas pengelakan (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax avoidance). Lalu, apakah ini berarti NGO tersebut mencoba melemparkan tuduhan bahwa Sinar Mas adalah salah satu perusahaan “penjahat pajak”?
Belum ada konfirmasi lebih jauh tentang hal ini. Namun, yang menarik adalah, laporan tendensius dari NGO itu muncul ketika saham PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (INKP) dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM), anak usaha Grup Sinar Mas, melesat tinggi sejak awal tahun. Jika dilihat, dari awal tahun hingga kini, angkanya sudah melesat ratusan persen!
Saham TKIM sudah menguat 358,05% dari posisi awal tahun Rp 2.970 ke posisi Rp 13.300 pada penutupan kemarin. Sementara saham INKP tercatat sudah naik 209,72% dari posisi awal tahun Rp 5.500, terbang ke posisi Rp 16.550.
Banyak kalangan analis saham percaya bahwa kedua saham itu masih bisa menguat. Saham TKIM bahkan diprediksi bisa menguat hingga level lebih dari Rp 20 ribu.
Sebagai informasi, kedua perusahaan kertas ini memiliki induk yang sama, yakni PT Purinusa Eka Persada yang merupakan Grup Sinar Mas. Di INKP, Purinusa memegang saham 52,72% atau setara 2,88 miliar lembar saham. Di TKIM, Purinusa memegang 59,67% atau setara 1,8 miliar lembar saham.
Kenaikan harga saham ini tentu mencerminkan fundamental perusahaan yang kuat, antara lain profitabilitas yang tinggi. Salah satunya adalah peningkatan konsumsi tisu selama 10 tahun terakhir rata-rata sebesar 2,8% dan konsumsi kertas kemasan 2,3%.
Peningkatan permintaan kertas terutama didorong oleh Cina yang menguasai 26% dari total konsumsi dunia. Sementara konsumsi per kapita Cina untuk kertas tisu masih sangat rendah, yakni sekitar 7 kg per kapita, bandingkan dengan Amerika Serikat sekitar 22 kg per kapita, Eropa sekitar 17 kg per kapita, dan Jepang sekitar 14 kg per kapita.
Konsumsi kertas kemasan Cina baru sekitar 50 kg per kapita, bandingkan dengan AS sekitar 128 kg per kapita, Jepang sekitar 91 kg per kapita, Eropa sekitar 78 kg per kapita. Dengan demikian, diperkirakan permintaan atas tisu dan kertas kemasan dari Cina masih akan terus naik. Di Cina, ketersediaan bahan baku dan produksi bubur kertas lebih rendah dari sisi konsumsi.
Kuatnya sisi permintaan industri juga diperkuat oleh prospek Moody, lembaga pemeringkat kredit internasional, untuk industri kertas dan hasil hutan global dengan peringkat ‘stabil’. Level aman ini ditopang oleh perkiraan peningkatan pendapatan sebesar 2-4% selama 12-18 bulan ke depan. Harga yang lebih tinggi, peningkatan produktivitas dan sinergi dari akuisisi baru-baru ini, serta produk kayu yang lebih kuat, kemasan kertas dan permintaan pulp pasar, akan mendorong pertumbuhan laba, dilaporkan Moody.
Yang menarik adalah, Moody’s juga menyebutkan bahwa penurunan pendapatan operasional justru terjadi pada perusahaan Amerika Utara dan Eropa akibat dari mahalnya biaya produk karena tingginya biaya produksi. Lalu, siapa yang akan bersinar? Proyeksi Moodys’ menyebut perusahaan dari Asia dan Amerika Selatan yang akan tumbuh melesat, bahkan berpotensi menjadi yang terbesar.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Aryan Warga Dalam, mengatakan bahwa berdasarkan kinerja ekspornya, industri kertas berhasil menduduki peringkat pertama dan industri pulp peringkat ketiga untuk ekspor produk kehutanan terbesar pada 2011-2017. Pulp dan kertas merupakan salah satu industri yang mempunyai peran penting bagi perekonomian Indonesia.
Kedua industri tersebut memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 0,71% dan devisa negara sebesar US$ 5,7 miliar pada 2017. Devisa tersebut diperoleh dari kegiatan ekspor pulp sebesar US$ 2,2 miliar ke beberapa negara tujuan utama, di antaranya Cina, Korea, India, Bangladesh, dan Jepang serta ekspor kertas sebesar US$ 3,6 miliar ke negara Jepang, Amerika, Malaysia, Vietnam serta Cina.
Pada saat ini, industri pulp Indonesia menempati peringkat ke-10 dunia dan industri kertas peringkat keenam dunia. Di Asia, industri pulp Indonesia menduduki peringkat ketiga dan industri kertas keempat setelah Cina, Jepang, dan India.
Data memperlihatkan sejak 2006 hingga 2016, produksi bubur kertas di Cina meningkat dari sekitar 52 juta ton menjadi sekitar 79 juta ton, sedangkan konsumsi meningkat lebih cepat dari sekitar 60 juta ton menjadi sekitar 97 juta ton. Diperkirakan defisit akan semakin lebar di masa mendatang. Untuk menutupi defisit ini, Cina terus mengimpor bubur kertas, terutama dari Indonesia dan Brasil.
Indonesia menjadi salah satu negara selain Brasil yang diprediksi akan semakin diuntungkan. Hingga saat ini cuma dua negara ini yang masih dapat meningkatkan jumlah produksi dan biaya produksinya pun lebih murah dibandingkan dengan negara lain. Murahnya biaya produksi ini karena Indonesia dan Brasil masih punya luasan hutan produksi yang relatif lebih luas dibandingkan dengan negara-negara pesaing lainnya.
Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampai 2018, masih ada 4,03 juta hektare lahan HTI yang bisa ditanami untuk industri kertas dan bubur kertas (pulp and paper). Tak heran jika beberapa waktu lalu, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, mengatakan bahwa sektor ini diusulkan mendapat fasilitas “tax holiday”.
Jadi, berdasarkan fakta tersebut, publik Indonesia bisa mengambil kesimpulan yang lebih menyeluruh dan lengkap: apakah serangan terhadap APP sekarang ini terkait dengan pemerasan atau malah persaingan dagang?