Fenomena politik uang (money politics) dalam proses pemilihan umum (pemilu) sampai saat ini masih saja terjadi. Makin dekat hari pemilihan 17 April 2019, makin kuat pula aroma politik uang ini.
Tak jarang, hal itu dilakukan pagi hari jelang pemilihan sehingga kerap disebut sebagai “serangan fajar”. Uang yang diberikan per kepala mencapai Rp250 ribu. Ada juga istilah main “bom” sekeluarga dengan tarif hingga Rp1 juta.
Politik uang ini “terpaksa” dilakukan dan diakui sejumlah calon legislatif (caleg) karena memang begitu trennya. Ada “tuntutan” dan “pasar suara” yang harus dipenuhi para caleg. Untuk dapat duduk menjadi anggota legislatif di DPRD kabupaten/kota, misalnya, diperlukan setidaknya 3.000-an suara.
“Kalau hanya mengandalkan suara keluarga, teman, dan tidak didukung oleh suara masyarakat lainnya tentu tidak akan menang,” kata caleg DPRD Pekanbaru Dapil 1 Pekanbaru, De saat berbincang dengan Riau Pos.
De adalah caleg baru, yang mencoba peruntungan menjadi anggota legislatif. Segala cara untuk merebut dan meraup suara rakyat sudah dilakukan. Mulai dari promosi di pinggir-pinggir jalan, menggunakan billboard berbayar, selebaran pamflet, kartu nama, bahkan suara yang dibeli untuk dapat memilihnya.
“Untuk besarannya tentu melihat persaingan di tengah masyarakat. Kalau saya minimal Rp50 ribu, bisa naik sampai Rp250 ribu tergantung situasi di lapangan,” ujarnya.
Bermain dengan politik uang ini, kata De, memang harus dilakukannya. Karena memang kalau berharap masyarakat datang ke TPS lalu mencoblos dirinya, itu disebut hal yang tidak mungkin.
Apalagi dirinya sosok yang tidak dikenal. Makanya cara instan ini dianggap lebih efektif. Apalagi saat ini ada banyak caleg dari 16 partai yang bersaing merebut hati masyarakat untuk 45 kursi di DPRD Pekanbaru.
“Apalagi ini kan sudah menjadi budaya kita di Indonesia. Dan masyarakat pun senang ketika ada yang seperti ini,” paparnya.