Hong Kong dikepung demonstrasi dalam beberapa pekan terakhir. Protes dipicu kisruh oleh oposisi atas rancangan undang-undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan Hong Kong kepada Cina, yang hingga kini belum menemukan titik terang. Mayoritas rakyat Hong Kong yang tidak setuju atas usulan RUU tersebut, dibuktikan dengan berlangsungnya demonstrasi yang terjadi secara berkelanjutan.
Baca Juga: Pro-Kontra Impor Guru
Para demonstran menargetkan bandara internasional Hong Kong sebagai tempat mereka menyuarakan pendapat, mengakibatkan otoritas Bandara Hong Kong menunda seluruh penerbangan yang tersisa. Permasalahan mengenai RUU sebenarnya sudah terjadi sejak awal tahun, tetapi belakangan ini semakin memuncak.
Permasalahan bermula ketika Februari 2019, Biro Keamanan Hong Kong menyerahkan draf dokumen berisi usulan perubahan undang-undang ekstradisi. Rancangan amandemen undang-undang ini mengusulkan perubahan perjanjian ekstradisi berupa diperbolehkannya penjahat yang tertangkap di Hong Kong diekstradisi ke Cina. Banyak warga Hong Kong yang kontra dengan usulan perubahan undang-undang ini.
Baca Juga: Jokowi Sentil Sengketa Lahan di Riau saat Rapat Kabinet
Ketidaksetujuan tersebut berbuntut pada demonstrasi pertama pada Maret 2019. Ratusan warga Hong Kong turun ke jalan untuk memprotes rancangan undang-undang ekstradisi. Pada bulan tersebut Serikat Dagang dari Amerika Serikat turut menyuarakan ketidaksetujuan mereka kepada John Lee, Sekretaris Keamanan Hong Kong. Mereka menganggap bahwa RUU akan mengganggu citra Hong Kong sebagai negara yang aman untuk berbisnis.
Dengan aksi demonstrasi ini, perekonomian di Hong Kong dikabarkan lumpuh. Seperti kita ketahui, Hong Kong merupakan salah satu pusat ekonomi utama di dunia. Tak hanya itu, aksi demonstrasi ini berdampak pada kinerja sejumlah perusahaan besar global.
Kondisi ini menambah kekhawatiran geopolitik karena pada saat yang bersamaan perang dagang antara AS dan Cina terus berlanjut. Seperti dikutip CNBC, tim manajemen di beberapa perusahaan multinasional melakukan pertemuan membahas kinerja dan memperingatkan konsekuensi mengerikan jika aksi demonstrasi terus berlanjut.
Akan ada potensi kehilangan pendapatan dan terhambatnya investasi bisnis. Belum lagi banyak perusahaan yang telah merasakan tekanan dari kenaikan pajak AS dan melemahnya mata uang Cina. Para trader pun menghukum bursa saham Hong Kong dengan mengirim indeks saham Hong Kong ke level terendah dalam tujuh bulan terakhir.
Saham Hong Kong dilaporkan anjlok hingga 10% dalam enam bulan terakhir. Indeks ini sekarang ada di posisi 16% di bawah level tertingginya yang tercipta pada awal April lalu.
Para pejabat Hong Kong pun telah memberikan peringatan atas ketegangan yang terjadi secara berlarut-larut ini dapat menyebabkan kerusakan berkelanjutan pada ekonomi lokal. Hong Kong merupakan rumah bagi tujuh perusahaan global yang masuk dalam Fortune 500, termasuk perusahaan teknologi raksasa Lenovo.
Saat ini pertumbuhan ekonomi Hong Kong merupakan yang terlemah sejak 2009 pada kuartal pertama. Meskipun ekonomi Hong Kong telah bangkit pada kuartal kedua, pencapaiannya masih jauh dari harapan analis. Tingkat pertumbuhannya hanya 0,6%.
Bila demo di Hong Kong tidak ditangani secara tepat, dampaknya akan memengaruhi ekonomi kawasan. Akan sampai merusak stabilitas ekonomi khususnya di kawasan dan dunia pada umumnya. Bukan tidak mungkin akan seperti krisis moneter tahun 1998 yang pernah menimpa Indonesia.