Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bakal menggelar kongres, Agustus mendatang. Sampai sekarang belum ada nama baru yang diembuskan untuk mengisi kursi ketua umum. Ya, sama dengan kongres sebelumnya, masih nama Megawati Soekarnoputri yang muncul sebagai calon ketua umum partai pemenang pemilu tersebut.
Menurut politikus PDIP, Pramono Anung, Megawati adalah sosok pemersatu partai. Itu sebabnya kemungkinan besar, pada kongres mendatang, Megawati akan dimintai kesediaannya untuk memimpin partai berlambang banteng moncong putih.
Proses pemilihan ketua umum PDIP, kata Pramono, memang berbeda dengan partai lainnya. Sistem pemilihan ketua umum adalah bottom up atau berdasarkan usulan dari bawah. Dan pada kongres mendatang muncul wacana pemilihan wakil ketua umum dan ketua harian partai.
Baca Juga: Jokowi Sentil Sengketa Lahan di Riau saat Rapat Kabinet
Pernyataan senada diungkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto. Menurut Hasto, permintaan Megawati untuk memimpin partai kembali berasal dari arus bawah atau wong cilik. Hasto juga menyampaikan bahwa peserta kongres PDIP berbeda dengan partai lain karena sebagai utusan.
“Mereka membawa mandat dari arus bawah dan suara dari arus bawah ini yang didengarkan,” kata Hasto seperti yang dikutip Tempo.
Tak Ada Regenerasi?
Selama 20 tahun berdiri sampai sekarang belum ada sosok kuat yang digadang-gadang bakal menggantikan Megawati sebagai ketua umum. Prananda Prabowo dan Puan Maharani, dua anak Megawati yang terjun ke dunia politik, tampaknya tak cukup kuat untuk menggantikan posisi ibunya.
Prananda adalah sosok di balik layar perjalanan politik Megawati sebagai ketua umum. Prananda disebut-sebut sebagai pembuat teks pidato Megawati yang berapi-api. Namun, sepertinya sosoknya tak cukup kuat untuk menggantikan Megawati. Demikian juga dengan Puan. Putri bungsu Mega yang lebih kerap muncul ini juga belum disebut-sebut sebagai kandidat calon ketua umum.
Sederet nama politikus kawakan PDIP seperti Ganjar Pranowo, Tjahjo Kumolo, sampai Joko Widodo, alias Jokowi, pernah disebut-sebut layak untuk menduduki posisi sebagai ketua umum. Sayangnya, wacana tersebut tidak mungkin terwujud hanya karena alasan sederhana, PDIP lekat dengan trah Soekarno. Artinya, hanya Puan dan Prananda yang berpeluang menduduki posisi tersebut.
Baca Juga: Keukenhof: Katakan dengan Tulip
Dari tahun ke tahun kongres PDIP hanyalah mengukuhkan Megawati sebagai ketua umum (kembali) dan mensikronkan agenda nasional dan daerah. Tidak pernah sepanas kongres partai politik lain dalam memilih ketua umum. Lihat saja, beberapa partai mengalami perpecahan gara-gara perebutan kursi ketua umum. Ini yang tidak pernah terjadi di PDIP.
Rekam jejak Megawati sebagai ketua umum tentu saja tidak buruk. PDIP berhasil menjadi pemenang pemilu 2014 dan 2019. Selain itu Megawati berhasil mengusung Jokowi sebagai presiden dua periode. Prestasi ini patut diapresiasi. Masalahnya, partai ini sepertinya perlu regenerasi, untuk penyegaran dan berinovasi.
Partai besar, pemenang pemilu yang disebut demokratis, tetapi masih mengusung cara tradisional untuk memilih pemimpin. Mereka mengklaim ini adalah suatu bentuk penerapan musyawarah mufakat untuk menyepakati pemimpin. Padahal, regenerasi perlu untuk menciptakan inovasi baru dan perubahan di tubuh partai. Apalagi untuk menghadapi kontestasi pilkada ke depan dan tentu saja pilpres 2024. Terlebih lagi Jokowi tak mungkin lagi maju sebagai presiden.
Dunia politik terus berubah seiring perkembangan zaman. Dengan kursi ketua umum yang masih diduduki Megawati sepertinya akan sulit bagi PDIP untuk berkembang dan mengikuti perkembangan zaman, kendati nantinya akan ada pendamping di posisi wakil ketua umum dan juga ketua harian. Semua tahu, pengambil keputusan masih di tangan ketua umum.
Akan sulit ke depannya bagi PDIP untuk bertahan sebagai partai terbesar jika tidak melakukan perubahan. Salah satunya melalui regenerasi. PDIP bukanlah partai yang buta demokrasi. Ideologi merekalah yang membuat ketua umum tak juga berganti.