Hingga kini baru 413 perusahaan kelapa sawit yang sudah mengantongi sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Padahal jumlah perusahaan kelapa sawit di Indonesia mencapai angka 2000-an perusahaan.
“Angka pasti jumlah perusahaan kelapa sawit di Indonesia masih dalam pendataan. Tapi estimasi pada angka 2.000 an itulah. Sebab di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur saja jumlah perusahaan kelapa sawit sudah berada di angka 1.400 perusahaan,” cerita Ketua Komisi ISPO, Azis Hidayat saat berbincang dengan Gatra.com Rabu (14/11).
Sementara pelaku usaha kelapa sawit non perusahaan yang mengikuti ISPO mencapai 12 yang antara lain; 8 KUD/KSU Kebun Plasma, 3 koperasi/asosiasi kebun swadaya dan 1 lagi Bumdes.
“Jadi dari 2011 hingga 7 November 2018, sudah 695 pelaku usaha yang ikut sertifikasi ISPO,” rinci Azis.
Dari jumlah tadi, 413 pelaku usaha kebun kelapa sawit, perusahaan swasta, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), pekebun plasma dan swadaya, sudah mengantongi sertifikat ISPO, sisanya masih dalam proses.
Total luas lahan yang sudah mengantongi sertifikat ISPO tadi adalah 2,3 juta hektar dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) mencapai 10,2 juta ton per tahun dan Tandan Buah Segar (TBS) 45,8 jutaton per tahun. Produktivitas lahan itu rata-rata 19,63 ton pertahun dengan rendemen 22,97%.
Dari data di atas, mengindikasikan bahwa masih ada 11,7 juta hektar lagi lahan pelaku usaha kelapa sawit yang belum mengantongi sertifikat ISPO.
Saat ini ada 14.030.000 hektar kebun kelapa sawit di Indonesia. Sebanyak 42 persen atau setara dengan 5.892.600 hektar adalah lahan petani swadaya dan plasma.
“Sementara luas lahan perusahaan 8,1 juta hektar. Dari luasan ini, milik PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) hanya 700 ribu hektar. Sisanya swasta,” Azis merinci.
Sejak 2011, ISPO sudah menjadi keharusan bagi pegiat perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Tujuannya adalah supaya para pegiat ini mematuhi segala regulasi terkait kelapa sawit.
Untuk menggeber jumlah pegiat kelapa sawit mengantongi sertifikat ISPO, saban 2 bulan Komisi ISPO mengadakan pelatihan auditor.
Sebab idealnya kata Azis, di tiap perusahaan biasa, harus ada 2 auditor. Di perusahaan besar 5 auditor, di koperasi 1 orang auditor dan di Lembaga Sertifikasi harus ada minimal 5 auditor tetap.
Kalau pegiat kelapa sawit sudah mengantongi sertifikat ISPO kata Azis, bisa dipastikan produksinya akan meningkat.
Sebab itu tadi, para pegiat kelapa sawit sudah mematuhi aturan main seperti pemupukan yang tepat, pestisida yang ramah lingkungan hingga bibit yang bersertifikat.
“Di Pelalawan Riau, ada Koperasi Amanah yang sudah mengantongi sertifikat ISPO dengan luasan lahan 400 hektar. produksinya mencapai 25 ton perhektar pertahun. Terus ada lagi di Kutai Timur dengan luasan 700 hektar. Produksinya mencapai 29-33 ton perhektar pertahun,” katanya.
Lantas bagaimana dengan lahan petani swadaya yang berada di kawasan hutan atau dengan bibit yang tidak bersertifikat?
“Kita ikut andil kok gimana caranya lahan petani swadaya itu bisa lepas dari kawasan hutan. Kita bekerja sama dengan instansi yang terkait lahan semacam itu,” katanya
Kalau misalnya sudah dalam proses pelepasan, berarti sudah memungkinkan untuk diaudit untuk dapat sertifikat ISPO.
“Lalu untuk lahan yang memang bibitnya tidak bersertifikat, produksinya dipastikan tidak akan diterima di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang bersertifikat ISPO,” katanya.
Pada pelatihan auditor ISPO angkatan ke-18 yang digelar 12-17 November 2018 di Bogor Jawa Barat dan Pekanbaru, Riau, Azis mengapresiasi kehadiran para petinggi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau. “Ini menjadi contoh bagi lembaga lain untuk ikut pelatihan,” ucapnya.
Dari Apkasindo Riau sendiri memang hadir Ketua DPW Apkasindo, Gulat ME Manurung dan Sekjen Rino Afrino.
Gulat ME Manurung mengatakan, keikutsertaan mereka dalam pelatihan auditor tidak terlepas dari sokongan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Kami sangat berterima kasih. Mudah-mudahan ke depan akan lebih banyak lagi auditor berbasis Apkasindo hasil kerjasama BPDPKS,” Gulat berharap.
source: gatra