Maraknya konflik lahan sawit yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini, tidak terlepas dari kesalahan pemerintah masa lalu dalam pemberian izin. Karena itu, dalam penyelesaian konflik lahan saat ini, pemerintah harus berdiri di tengah-tengah dan bersikap adil agar tidak ada pihak yang dirugikan, baik petani rakyat maupun korporasi industri kelapa sawit.
Penyelesaian konflik lahan secara adil dari pemerintah sangat diperlukan agar hal ini tidak terus menerus dipelintir oleh pihak-pihak tertentu yang selama ini kerap melakukan kampanye negatif terhadap industri sawit Indonesia. Terlebih saat ini Indonesia tengah menikmati peningkatan devisa negara dari sektor industri kelapa sawit.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, lewat pengembangan olahan minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO), Indonesia mampu meraih pendapatan US$22,9 miliar atau sekitar Rp314,8 triliun. Pencapaian ini juga memperlihatkan bahwa industri kelapa sawit punya kontribusi devisa yang signifikan bagi perekonomian Indonesia.
Bila membandingkan dengan pendapatan yang diraih Indonesia pada 2016, yakni US$17,8 miliar, ada kenaikan dari sektor industri kelapa sawit sebesar US$5,1 miliar. Kenaikan pendapatan pada 2017 karena produksi CPO Indonesia melonjak mencapai 38 juta ton. Dari 38 juta ton tersebut, yang diekspor ke 50 negara sebanyak 31 juta ton, 7 juta ton dipakai untuk pasar domestik.
Indonesia juga menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia dan memiliki perkebunan sawit sebesar 11,9 juta hektare. Rinciannya, 4,7 juta hektare (42%) merupakan kebun rakyat, baik plasma maupun rakyat swadaya. Sebanyak 7,2 juta hektare lahan perkebunan sawit dikuasai oleh berbagai perusahaan.
Di sisi lain, industri kelapa sawit juga masih sarat dengan konflik lahan. Berdasarkan data yang dikeluarkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), perkebunan kelapa sawit menjadi komoditas yang mendominasi konflik agraria di Indonesia pada 2017.
Rugikan Petani dan Korporasi
KPA mencatat ada 659 konflik agraria sepanjang 2017. Angka itu meningkat jika dibandingkan dengan 2016 yang mencapai 450 konflik. Jika dipukul rata, dalam sehari telah terjadi dua kali konflik sepanjang tahun 2017. Konflik sepanjang 2017 itu terjadi di lahan seluas 520.491,87 hektare dan menyebabkan sedikitnya 652.738 kepala keluarga terdampak.
Konflik lahan tidak saja berdampak buruk bagi petani rakyat, tetapi juga merugikan korporasi yang mengelola industri kelapa sawit. Peneliti Daemeter Consultanting, Godwin Limberg, mengungkapkan bahwa berdasarkan lima studi kasus yang dilakukannya, tangible cost dari konflik sosial beerkisar US$70,000 hingga US$2,500,000. Tangible cost tersebut mewakili 51-88% dari biaya operasional dan 102-177% biaya investasi per hektare per tahun.
“Jika dihitung per tahun, untuk satu kejadian konflik, tangible cost berkisar antara US$500 hingga US$15,000 per hektare per konflik,” kata Godwin kala menjadi pembicara dalam acara sosialisasi hasil studi tentang “Kerugian dan Biaya Tanah dan Sumber Daya alam” yang digelar di Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Godwin berpendapat, biaya yang ditanggung korporasi sangat signifikan, dan merupakan penghambat produktivitas perusahaan. Biaya itu berpotensi membengkak. Pasalnya, hasil studi kasus menunjukkan bahwa 57% korporasi yang mengalami konflik awal dapat mengalami konflik berulang pada kasus-kasus yang dianggap telah selesai.
“Dari semua hasil evaluasi studi kasus yang kami lakukan, konflik umumnya terjadi pada masa-masa awal produksi,” tuturnya. Biasanya, pada masa itu, korporasi menanggapi agar tidak menghilangkan pendapatan dan keuntungan jika operasional sampai terhenti.
Godwin juga menyarankan, pentingnya pemerintah perlu membangun kapasitas pemangku kepentingan lokal. “Harus ada pihak di daerah yang bisa bertindak sebagai penengah antara korporasi dan masyarakat dalam sengketa lahan agar penyelesaiannya tidak berlarut-larut,” ujar Godwin.
Benahi Perizinan
Rimawan Pradipti, peneliti dari Lingkar Pembaruan Desa Agraria (KARSA), menilai pemerintah harus membenahi tata kelola pemberian izin lahan untuk menghindari potensi konflik ke depan. Institusi-institusi yang kuat yang bertanggung jawab dalam mengatur perizinan agar perizinan lahan berada di lokasi yang clear and clean.
“Saat ini, institusi-institusi yang ada masih rapuh sehingga mekanisme pasar tidak berjalan dengan baik akibat banyaknya celah yang bisa disalahgunakan,” kata Rimawan.
Rekan Rimawan, Rando Zakaria, mengungkapkan bahwa penyelesaian konflik lahan bukan masalah yang mudah karena karakteristik utama dari konflik adalah sifat konflik yang cenderung dinamis. Konflik yang semula sederhana dapat tereskalasi rumit seiring dengan perjalanan waktu. Di sisi lain, konflik yang berkepanjangan juga dapat reda secara drastis maupun gradual.
“Walau begitu, semua pihak sepakat bahwa konflik menimbulkan biaya yang sangat besar dan harus ditangani segera karena merugikan semua pihak,” ucap Rando.