Presiden Joko Widodo alias Jokowi bersama keluarga mengejutkan pedagang dan pembeli di Pasar Beringharjo, Sabtu (8/6/2019). Kunjungan mendadak ini dilakukan mantan Wali Kota Solo tersebut di sela-sela perjalanannya ke Yogyakarta.
Dalam kunjungan ke Pasar Beringharjo, Jokowi ditemani Ibu Negara Iriana, kedua putranya Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, dan menantunya Selvi Ananda. “Presiden memilih kemeja batik cokelat,” ujar Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, dalam keterangan tertulisnya.
Urutan cerita lebih menarik justru ditunjukkan di laman Facebook Presiden ke-7 RI itu. Di Facebook, keesokan harinya, Minggu (9/6/2019), Jokowi dan keluarga terlihat mengunjungi pasar tradisional terbesar di Kota Solo, Pasar Gede Hardjonagoro.
Baca Juga: Kapal Ikan Malaysia Ternyata Juga Bawa Narkoba
Jokowi bercerita bahwa ia dan keluarga membeli alat dapur tradisional seperti ulekan dan centong nasi. Tak ketinggalan, ia bersama istri juga membeli buah-buahan tradisional. Bahkan dalam laman Facebooknya terlihat putra tertuanya Gibran menjunjung setandan pisang.
Orang awam melihat kegiatan keluarga presiden tersebut mungkin dengan pemikiran biasa saja. Namun, bagi pemerhati ekonomi dan politik nasional, apa yang dilakukan Jokowi itu menyiratkan pesan tertentu. Apalagi, Jokowi adalah pemimpin Jawa yang dikenal penuh dengan bahasa simbol.
Lalu, apa yang menarik dari kunjungan Jokowi dan keluarganya ke pasar-pasar tradisional itu?
Tafsiran mengejutkan datang ketika peristiwa kunjungan tersebut dihubungkan dengan aktivitas ekonomi, terutama di era pascapilpres 2019 yang kemungkinan besar kembali dimenangi Jokowi. Kegiatan belanja batik keluarga Jokowi di Pasar Beringharjo ditafsirkan sebagai bentuk kekhawatiran akan tekstil impor yang menggerogoti pasar garmen nasional.
Aksi beli batik ditengarai sebagai ajakan halus agar masyarakat Indonesia mencintai produk-produk fesyen dalam negeri. Kondisi terkini di sektor tekstil memang menunjukkan kegentingan itu. Dengar saja keluhan yang datang dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), yang menyebut hancurnya pasar tekstil dalam negeri akibat serbuan produk impor dan berbagai persoalan lainnya.
Sekjen API, Kevin Hartanto, mengatakan bahwa kondisi industri tekstil Indonesia saat ini dalam kondisi kurang begitu bagus. Kendati data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan impor tekstil belum begitu besar, kenyataan di lapangan banyak sekali produk luar di pasaran. Kevin bahkan mengkhawatirkan masuknya produk impor tekstil ilegal ke Indonesia karena bisa saja produk tersebut masuk melalui jalur-jalur yang tidak terpantau.
Menurut dia, bukti anjloknya produk tekstil di pasar domestik tampak pada turunnya komposisi suplai. Suplai industri tekstil ke domestik saat ini hanya 40%, padahal sebelumnya bisa mencapai 80%. Bisa jadi, selisih itu diisi produk impor legal atau ilegal.
Sebagai presiden, tentu Jokowi tak mungkin mengumumkan secara luas bahwa ia lebih suka produksi nasional menjadi tuan rumah, apalagi di tengah anjloknya angka investasi langsung luar negeri seperti sekarang ini.
Pisang dan Emas
Selai batik, Jokowi juga berbelanja buah-buahan tradisional, khususnya pisang. Telah lama para budayawan dan ahli sejarah menyimbolkan pisang dengan emas. Dan kebetulan, di era Jokowi, produksi emas Indonesia mengalami peningkatan terlihat dari makin ciamiknya kinerja PT Aneka Tambang, produsen mineral milik pemerintah.
Pada 2018, perusahaan berkode saham ANTM ini berhasil membukukan laba bersih Rp 874,42 miliar atau tumbuh 540,60% secara tahunan. Berdasarkan laporan keuangan 2018 yang dipublikasikan Senin (11/03/2019), Aneka Tambang mengantongi pendapatan Rp 25,24 triliun pada 2018. Realisasi itu naik 99,48% dari Rp 12,65 triliun pada 2017.
Laba kotor tercatat senilai Rp 3,47 triliun per akhir Desember 2018. Tercatat, jumlah itu naik 111,48% dari Rp 1,64 triliun pada 2017. Dengan demikian, ANTM sukses mengamankan laba bersih Rp 874,42 miliar pada akhir 2018. Pencapaian tersebut naik 540,60% dari Rp 136,50 miliar pada 2017.
Tafsiran lebih menarik datang dari barang belanjaan Jokowi dan keluarga berikutnya, yakni peralatan masak tradisional. Tafsiran atas barang-barang ini mengarah pada ajakan Jokowi agar masyarakat menggunakan alat produksi buatan domestik.
Tafsiran ini cocok dengan perkembangan terkini terkait program Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) serta kondisi neraca dagang Indonesia. Diketahui, April 2019, neraca dagang Indonesia mencatat rekor defisit terburuk sepanjang sejarah.
Baca Juga: Desa dan Kelurahan Harus Dukung PHBS
Walaupun diklaim kondisi itu terkait pascapemilu serta impor menjelang Ramadan dan Lebaran, fakta telah terjadi penurunan daya beli masyarakat tak terhindarkan. Gubernur Bank Indonesia (BI) pun mengakui bahwa tingkat inflasi pada bulan Ramadan tahun ini yang jatuh pada Mei tak sebaik tingkat inflasi Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Jelas kondisi ini membuat pemerintah akan lebih galak lagi menerapkan program TKDN mereka.
Situasi terkonfirmasi ketika awal Mei lalu, para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengevaluasi TKDN. Asosiasi itu mengklaim ini ada hubungannya dengan perundingan perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia Korea Selatan (IK-CEPA).
“TKDN sekarang dinilai terlalu tinggi oleh pelaku usaha sektor manufaktur,” ujar Wakil Ketua Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, seperti dikutip Kontan.co.id, Minggu (5/5/2019).
Jadi, jika disimpulkan, Jokowinomics untuk periode kedua tak akan jauh dari komponen-komponen tersebut di atas. Tafsiran kunjungan presiden dan keluarga ke pasar tradisional tak lain sebagai ajakan agar masyarakat meningkatkan belanja domestik dan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sektor konsumsi rumah tangga. Juga untuk mewujudkan mimpi pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, ketika nilai investasi dan surplus perdagangan justru anjlok dihantam perang dagang.