Hong Kong masih saja terguncang aksi demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi masyarakat yang telah terjadi sejak awal Juni lalu berujung kekerasan dan membuat situasi setempat kacau. Jutaan orang dilaporkan turun ke jalan sejak dua bulan terakhir untuk menyuarakan pendapat.
Sebagaimana diketahui dunia, demo besar-besaran ini dipicu ketika pemerintah Hong membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ekstradisi. RUU itu memungkinkan tahanan Hong Kong, termasuk warga asing diekstradisi ke Cina. Peraturan tersebut dianggap mengancam posisi Hong Kong sebagai salah satu hub perekonomian dunia.
Investor dan pemilik dana berpotensi kian ketakutan dibayangi kecurigaan berlebih pemerintah Cina, dan akhirnya mereka pun bersiap kabur. Dan jika sampai kabur, bukankah berarti kiamat bagi perekonomian daerah yang memang dihidupi oleh sektor jasa dan perdagangan ini?
Yang menarik, jika sampai perekonomian Hong Kong kolaps, Indonesia juga harus bersiap terkena getahnya. Adalah fakta bahwa 90% kebutuhan batubara di Hong Kong itu dipasok dari Indonesia. Kontribusi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan batubara di Hong Kong sebesar 40% dari total kebutuhan. Jika ekonomi kolaps, ini berarti permintaan listrik juga akan turun. Tentu akan mengurangi kebutuhan batubara dari Indonesia.
Salah satu perusahaan batubara Indonesia yang berpotensi terpengaruh atas gejolak politik di Hong Kong adalah PT Adaro Energy Tbk. Tiap tahun, ekspor batubara perusahaan yang dipimpin oleh Garibaldi Thohir itu mencapai 3,5 juta ton dan menjadi penentu keandalan penyediaan energi listrik di kota itu.
“Dari total batubara yang dipasok dari Indonesia, kontribusi Adaro mencapai 35%,” kata Boy, panggilan akrab Garibaldi Thohir, kepada para pemimpin redaksi media massa Indonesia saat meninjau Castle Peak Power Station, sebuah PLTU berkapasitas 4.108 MW di Tuen Mun, Kowloon, Hong Kong, Senin (8/7/2019).
Pembangkit tenaga batubara ini dikelola oleh Cina Light and Power (CLP Power) dan saat ini sudah berusia 37 tahun. Setiap tahun, CLP Power membutuhkan 6,5 juta ton batubara dan dari total kebutuhan itu, sebesar 2,5 juta ton dipasok oleh Adaro. “CLP Power adalah mitra utama kami. Relasi kami dengan perusahaan ini sudah terjalin dengan baik selama 20 tahun,” ujar Presiden Direktur Adaro itu.
Memiliki tiga pembangkit, CLP Power tidak hanya memproduksi energi listrik, melainkan juga mengelola jaringan transmisi dan distribusi untuk melayani konsumen Hong Kong. Dua pembangkit lain milik CLP Power adalah Black Point Power Station, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dengan bahan baku gas alam yang dipasok Cina. Pembangkit yang juga terletak di Tuen Mun ini berkapasitas 2.500 MW.
Pembangkit ketiga yang dikelola CLP Power adalah Penny’s Bay Power Station yang terletak di Pulau Lantau dengan kapasitas 300 MW. Meski kecil, pembangkit tenaga solar ini dirancang untuk mengisi lonjakan kebutuhan pada beban puncak.
Melihat portofolio sumber energi listrik Hong Kong tersebut, bisa disimpulkan bahwa kehidupan penduduk Hong Kong, yang hampir semuanya tinggal di apartemen, sangat tergantung pada listrik. Semenit saja terjadi mati listrik, berbagai kegiatan terganggu.
Selain ekspor batubara, adakah hal lain yang akan berpengaruh pada Indonesia dari kian memanasnya kondisi di Hong Kong? Informasi menarik datang dari program pengampunan pajak beberapa tahun lalu. Program yang diikuti oleh 727.363 wajib pajak itu berhasil mengumpulkan aset senilai Rp 4.491 triliun. Hong Kong menjadi salah satu negara sumber repatriasi terbesar, yakni sekitar Rp 15,65 triliun dan yang berhasil dibawa pulang Rp 12,43 triliun per 25 September 2016.
Meski sudah tercatat pada data tax amnesty, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), Hestu Yoga Saksama, mengatakan bahwa masih terdapat potensi penerimaan pajak WNI yang berada di Hong Kong. Jumlahnya? Rumor yang beredar, tak kurang dari Rp 50 triliun dana warga negara Indonesia (WNI) masih tersimpan di sistem keuangan negara administratif ini.
Untuk mengejar sisa dana yang belum terlacak, Ditjen Pajak Indonesia pun tak main-main. Mereka antara lain mulai melakukan sosialisasi rutin hingga melakukan kerja sama dengan Hong Kong secara Bilateral Competent Authority Agreement (BCAA) dalam rangka Automatic Exchange of Information (AEOI).
Tak heran ketika Dirjen Pajak berhasil mencapai kesepakatan AEOI dengan Hong Kong, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dengan penuh percaya diri mengatakan bahwa Kementerian Keuangan akan mampu mengejar harta kekayaan WNI bahkan bila disembunyikan di lubang semut sekalipun. Pernyataan ini dimungkinkan karena sesuai ketentuan umum perpajakan di Indonesia, wajib pajak yang merupakan masyarakat Indonesia harus melaporkan harta yang berada di luar negeri, juga harus melaporkan penghasilan yang berasal dari luar negeri serta membayar pajaknya sesuai UU PPh Indonesia atau tax treaty yang ada.
Dengan data yang diperoleh dari AEoI ini, aparat pajak Indonesia akan bisa mendeteksi dengan lebih baik praktik-praktik penghindaran dan pengelakan pajak yang dilakukan dengan memanfaatkan skema transfer pricing, treaty abuse, treaty shopping, thin capitalization, CFC dan lainnya. Jadi, bayangkan bila gejolak politik di Hong Kong tersebut terus meluas dan menimbulkan kekacauan yang lebih besar.
Di sisi lain, tanda-tanda demonstrasi di Hong Kong pun belum terlihat mereda. Setelah sebelumnya hanya diikuti masyarakat, LSM, dan mahasiswa, 2 Agustus lalu ribuan pegawai negeri sipil (PNS) di sana mulai turun yang melakukan demonstrasi dengan tuntutan pencabutan RUU tentang Ekstradisi dan mendesak pemerintah untuk tidak menyebut aksi protes selama dua bulan belakangan ini sebagai kerusuhan.
Para PNS itu juga meminta pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, membebaskan semua demonstran yang ditangkap dan mendirikan komisi independen untuk menyelidiki dugaan kekerasan oleh polisi selama menangani unjuk rasa. Pada 5 Agustus 2019, keadaan kian ricuh. Demonstran kembali gelar unjuk rasa dan bertekad melumpuhkan Hong Kong. Layanan transportasi publik ditangguhkan di sejumlah wilayah. Sebanyak 105 penerbangan menuju dan dari Hong Kong dibatalkan.
Per 6 Agustus 2019, alih-alih membebaskan demonstran, Kepolisian Hong Kong malah melakukan penangkapan terhadap 148 demonstran.